A.
Tatanan
masyarakat
Dari awal abad masa Hindu
dan Buddha di Indonesia beridiri mereka semua menggunakan sistem tatanan
masyarakat dengan sistem hanyalah Ajaran Catur
Warna yang terbentuk berdasar guna dan karmanya di mana tatanan
masyarakat diubah dari warna ke kasta, lagi-lagi untuk menguatkan status quo
penguasa ketika itu. Jadi semenjak sebelum abad ke 14 yang memiliki
peran penting Ajaran Catur Warna itu. Padahal sebelum abad ke-14, kasta tidak
dikenal di Bali/ Jawa. Penjajah Belanda, selama 350 tahun menguatkan sistem
kasta karena ini sesuai dengan politik divide et impera – nya. Mengutip dari
perkataan sang Buddha dalam buku (Samana yang ditulis oleh Luangta Maha Boowa
halaman [64]) bahwasanya ia mengatakan yang membedakan mahluk itu adalah kamma,
dari yang paling kasar ke yang paling halus” kamma maksudnya adalah perbuatan.
Pikiran kita itu disebut kamma mental (batin), ucapan kita itu disebut kamma
verbal sedangkan perbuatan kita disebut kamma tubuh jasmani.
Namun
demikian saya yakin lama-kelamaan sistem kasta akan hilang ditelan jaman,
karena umat Hindu di Bali semakin terdidik, dan juga bertumbuh kembangnya ilmu
pengetahuan dan juga karena pengaruh globalisasi. Misalnya di Buleleng,
mayoritas masyarakat tidak menyenangi sistem kasta, dan mereka tidak
memperhatikannya. Sistem kasta masih agak kuat di Klungkung, Gianyar, Badung,
Tabanan, Karangasem. Itupun sporadis. Bagaimana kiatnya “memerangi” sistem
kasta? Ya, perlakukan orang-orang berkasta itu biasa-biasa saja. Hormati mereka
berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya kepada masyarakat. Bukan karena titel
kebangsawanannya.
Indonesia jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu,
masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup layak dan maju. Unsur-unsur kebudayaan asli Indonesia
telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masuknya
pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia telah membawa perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Indonesia. Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia
tidak diterima begitu saja. Unsur-unsur kebudayaan tersebut diterima, disaring dan
diolah serta disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan Pertama, masyarakat Indonesia memiliki dasar-dasar kebudayaan yang
cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan Indonesia. Kedua, bangsa Indonesia memiliki apa yang
disebut dengan istilah Local Genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk
menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolahnya sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Seni Bangunan Munculnya budaya Hindu-Buddha (India) di
Indonesia sangat besar pengaruhnya terhadap seni bangunan, terutama pada
bangunan candi.
Dalam perkembangannya, ada dua corak kerajaan berdasarkan budaya
Hindu-Buddha. Kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, antara lain, Kerajaan Kutai,
Tarumanegara, Mataram Hindu (Mataram Kuno), Kahuripan (Airlangga), dan
Majapahit. Kerajaan Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu terbesar. Adapun
kerajaan-kerajaan bercorak Buddha, antara lain, Kerajaan Holing (Kalingga),
Melayu, Sriwijaya, dan Mataram Buddha. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan
Buddha terbesar di Indonesia.
B. Tatanan Pemerintahan
Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia
mengakibatkan terjadinya percampuran atau perpaduan budaya antara kedua
kepercayaan itu, namun tidak meninggalkan kepercayaan asli Indonesia, terutama
dilihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan terhadap
dewa-dewa alam. Dalam bidang sosial, terjadi bentuk perubahan dalam tata
kehidupan sosial masyarakat. Misalnya, dalam masyarakat Hindu diperkenalkan
adanya sistem kasta. Dalam bidang ekonomi, tidak begitu besar pengaruhnya dan
tidak begitu banyak terjadi perubahan, karena masyarakat Indonesia telah mengenal
aktivitas perekonomian melalui pelayaran dan perdagangan jauh sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Buddha. Pemerintahan Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke
Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan kepala suku.
Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, dimana salah
seorang kepala suku merupakan pimpinan yang dipilih dari kelompok sukunya,
karena memiliki kelebihan dari anggota yang lain. Akan tetapi, setelah masuknya
pengaruh Hindu-Buddha, tata pemerintahan disesuaikan dengan sistem pemerintahan
yang berkembang di India. Seorang kepala suku, melainkan seorang raja yang
memerintah atas wilayah kerajaannya secara turun temurun. Bukan lagi ditentukan
oleh kemampuan, melainkan keturunan.
C.
Tatanan
Filsafat
Kepercayaan Filsafat Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke
Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu
pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu bersifat animisme dan
dinamisme. Kemudian, mengakibatkan terjadinya akulturasi. Dimana-mana kita
telah banyak tahu arti dan penjelasan dari dinamisme dan animisme, bahwa
kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib dan
kepercayaan pada nenek moyang yang mempunyai kekuatan supranatural yang bisa
mendatangkan kebahagiaan bagi yang mempercayainya. Maka tak heran pula lah
jikalau Hindu-Buddha masuk ke Indonesia mudah diterima, karena jalan
kepercayaan yang mereka bawa dan mereka tawarkan sejalan dengan kepercayaan
asli Indonesia yaitu animisme dan dinamisme.
Dibandingkan
agama Hindu, agama Buddha lebih mudah diterima oleh masyarakat kebanyakan
sehingga dapat berkembang pesat dan menyebar ke berbagai wilayah. Sebabnya
adalah agama Buddha tidak mengenal kasta, tidak membeda-bedakan manusia, dan
menganggap semua manusia itu sama derajatnya di hadapan Tuhan (tidak
diskriminatif). Menurut agama Buddha, setiap manusia dapat mencapai arahat
asalkan baik budi pekertinya dan berjasa terhadap masyarakat.
Ia
sang Buddha berkeinginan untuk menjadi Buddha: seperti yang diungkapkan oleh
Buddha sendiri dalam bukunya Bhikku Kusaladhamma, “Kronologi Hidup Buddha” ia
mengatakan “ jika memang kukehendaki, bisa saja aku mengenyahkan semua noda
batin (asava) dan membasmi kotoran batin (kilesa) hari ini juga dan menjadi arahat.
DAFTAR ISI
_Kusaladhamma,
Bhikku. Kronologi Hidup Buddha. Pustaka Karaniya, Oktober 2007. Cet. IV.
_Maha
Boowa, Luangta. Samana. Forest Dhamma Publication, Maret 2011. Tanpa
keterangan cetakan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Maaciww!! Udah mampir di Blog ane, Semoga Bermanfaat, janan lupa likenya ya :)