Gambar

Gambar

Jumat, 05 Juni 2015

Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Budha




PEMBAHASAN
A. Kelahiran Kembali (Tumimbal-lahir)
Pemikiran Buddhis, kelahiran kembali (tumimbal-lahir) akan terjadi pada akhir kehidupan saat ini. Buddhis mengakui kelahiran kembali sebagai suatu fakta. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa seseorang yang telah mengalami hidup berkali-kali pada masa lalu dan akan terus hidup pada masa yang akan datang. Kelahiran kembali (tumimbal-lahir) merupakan suatu kenyataan dalam pengertian Buddhisme walaupun kebanyakan orang mungkin tidak menyadari hal tersebut. Keberadaan tentang adanya kehidupan masa sebelumnya dapat dikonfirmasikan kepada orang yang telah melatih pikirannya melalui meditasi.[1]
Sang Buddha pada malam pencapaian Pencerahan-Nya, memperoleh kemampuan melihat beberapa kehidupan Beliau sebelumnya. Beliau juga melihat makhluk hidup mati pada suatu tahapan keberadaan dan makhluk hidup lahir pada tahapan keberadaan lainnya, sesuai dengan karma yang dilakukannya. Sehingga hal ini merupakan pengalaman pribadi Beliau yang diajarkan kepada para murid-Nya, yaitu kebenaran tentang kelahiran kembali.
Sang Buddha bersabda, "Aku mengingat berjuta kali kelahiranKu dari kehidupan yang lampau sebagai berikut: mula-mula 1 kehidupan, kemudian 2 kehidupan, kemudian 3, 4, 5, 10, 20 sampai 50 kehidupan, kemudian seratus, seribu, seratus ribu dan seterusnya" (Majjhima Nikaya, Mahasaccaka Sutta No. 36, I.248)
Buddhisme mengajarkan bahwa kelahiran, kematian dan kelahiran kembali adalah merupakan suatu proses perubahan yang berkelanjutan. Hal tersebut sama dengan proses berkelanjutan dari pertumbuhan, kerusakan dan penggantian sel dalam tubuh seseorang. Menurut ahli kedokteran, setiap tujuh tahun semua sel di dalam tubuh seseorang akan diganti dengan yang baru.
B. Proses Kematian
Pada saat kematian, dimana hidupnya telah tiada dan tubuhnya sudah tidak bernyawa, maka pikirannya akan terpisah dari tubuh. Kematian merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dihindari oleh semua makhluk hidup, dan tidak ada tempat persembunyian untuk menghindarinya.
Sang Buddha bersabda : " Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk menyembunyikan diri dari kematian. " (Dhammapada, 128).

Pada saat kematian maka keinginan untuk hidup yang merupakan sumber ketidaktahuan (avidy atau avijja) menyebabkannya untuk mencari keberadaan yang baru dan karma yang dilakukannya pada kehidupan sebelumnya itu akan menentukan tempat kelahiran kembali baginya.

Bagian tubuh manusia dalam pengertian Buddhisme dapat dibagi atas empat unsur yaitu: padat (pathav), cair(apo), panas (tejo), gerak (vayo) . Keempat unsur tersebut diikuti oleh warna (vanna) bau (gandha), rasa (rasa), pokok yang utama (oja) tenaga hidup (jivitindria) dan tubuh (kaya). Kematian menurut pengertian Buddhisme adalah berhentinya kehidupan batin dan jasmani (jivitindriya) dari setiap keberadaan individu, yaitu lenyapnya kekuatan (ayu), panas (usma) dan kesadaran (vinnana).

Sehingga kematian dapat dipandang sebagai suatu proses penghancuran yang menyeluruh atas suatu makhluk hidup, walaupun suatu masa kehidupan tertentu berakhir tetapi kekuatan yang sampai sekarang ini bergerak tidak dihancurkan. Hal ini dapat diumpamakan seperti sebuah bola lampu listrik yang walaupun bola lampu itu telah mati karena usang, aus, ataupun pecah, tetapi listriknya tetap mengalir. Demikian juga aliran karma tetap bergerak dimana tidak terganggu oleh kehancuran badan-jasmani, dan hilangnya kesadaran yang sekarang membawa pada kemunculan dari suatu kesadaran yang baru dalam bentuk kelahiran yang lain.

Pengertian Buddhisme Mahayana, seseorang yang meninggal akan tinggal dalam keadaan alam perantara dalam satu, dua, tiga, lima, enam atau tujuh minggu, sampai hari ke-49. Sehingga dalam Buddhisme Mahayana sering dikenal adanya berbagai praktek ritual upacara kematian yang berlangsung setiap minggu sampai hari ke-49.

Secara garis besar dapat dikelompokkan adanya Enam Alam Kehidupan di mana suatu makhluk dapat dilahirkan kembali sesudah kematian, yaitu terdiri dari alam kehidupan dewa, semi-dewa, manusia, binatang, hantu kelaparan dan neraka. Ini adalah gelompokan secara umum dan di antara setiap kelompok tersebut, masih terdapat banyak sub-kelompok. Enam alam kehidupan tersebut terdiri dari tiga alam kehidupan yang boleh dikatakan alam kehidupan yang relatif bahagia, dan tiga lainnya adalah kehidupan yang relatif sengsara. Alam kehidupan dewa, semi-dewa dan manusia dapat dipertimbangkan lebih bahagia dan kurang menderita. Sedangkan alam kehidupan binatang, hantu kelaparan dan neraka dipertimbangkan relatif sengsara. Kehidupan di alam tersebut lebih banyak menderita karena ketakutan, kelaparan, kehausan, kepanasan, kedinginan dan kesakitan.
Berdasarkan uraian mengenai alam kehidupan dan jalan pembebasan di atas dapat ditirik kesimpulan bahwa kehidupan semua makhluk selalu diliputi dengan penderitaan. Penyebab dari penderitaan kehidupan semua makhluk adalah ketidaktahuan dan keinginan akan mengalami kelahiran dan kematian atau kelahiran kembali di dalam salah satu dari enam alam kehidupan.
Buddhisme mengajarkan bahwa kelahiran, kematian dan kelahiran kembali adalah merupakan suatu proses perubahan yang berkelanjutan. Pada saat kematian, dimana hidupnya telah tiada dan tubuhnya sudah tidak bernyawa, maka pikirannya akan terpisah dari tubuh. Kematian merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dihindari oleh semua makhluk hidup, dan tidak ada tempat persembunyian untuk menghindarinya. Pada saat kematian maka keinginan untuk hidup yang merupakan sumber ketidaktahuan (avidya atau avijja) menyebabkannya untuk mencari keberadaan yang baru dan karma yang dilakukannya pada kehidupan sebelumnya itu akan menentukan tempat kelahiran kembali baginya.
Secara umum perkawinan meruakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang, baik anak muda maupun orang tua. Bagi anak muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi pada waktu-waktu mendatang, dalam kehidupan berumah tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena anaknya sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda menemukan jodohnya.
C. Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal.[2] Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.
Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.” Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)
Kesimpulan
  • Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
  • Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih cepat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha untuk mengubah tingkah kaku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu waspada dengna pikiran terkendali serta bijaksana.
  • Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan latihan meditasi secara intensif, sehingga kita mampu menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga kita bsia merasakan hidup ini penuh dengan ketentraman dan kebahagiaan.
  • Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepadaq perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bsia menuruti kehendak kita, maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri yang harus berani mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertengkaran di antara kita.



Daftar Pustaka
_ Myratana.blogsport.com



[1]. http://pujaantara.blogsport.com/category/kelahiran.
[2] Myratana.blogsport.com

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Maaciww!! Udah mampir di Blog ane, Semoga Bermanfaat, janan lupa likenya ya :)