Gambar

Gambar

Kamis, 04 Juni 2015

Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Hindu




MAKNA KELAHIRAN DALAM AGAMA HINDU

Kelahiran merupakan anugrah terbesar yang diberikan Sang Hyang Widhi, sejak dalam kandungan sebelum kelahiran dalam ajaran Hindu, manusia telah dipersiapkan dan dibentuk melalui adanya ritual – ritual dengan tujuan agar sang anak yang dalam kandungannya lahir dan besar sesuai harapan. Dalam Agama Hindu terdapat Upacara Manusa Yadyna, yakni upacara persembahan suci yang dilaksnakannya dengan tulus, yang mana terdapat nilai – nilai positif, yakni dalam rangka memelihara dan mendidik secara spiritual hindu terhadap si calon anak semenjak terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Dalam ajaran Hindu terdapat empat tingkatan dalam menjalani hidup ini, yakni bagian dari Catur Purusa Arta, yaitu: Brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Upacaranya sendiri terbagi menjadi beberapa macam, diantaranya :
1.      Magedog – gendongan
Upacara ini dilaksanakan setelah janin berusia dibawah lima bulan, yang dilaksanakan dalam rangka untuk membersihkan dan memohon keselamatan si cabang bayi, dengan harapan agar kelak nanti menjadi orang yang berguna. Waktu melaksanakannya pada saat kandungan berusia 210 hari (tidak harus persis), untuk tempat pelaksanaannya dilaksanakan di dalam rumah, halaman rumah, pekarangan rumah, ditempat pemandian darurat serta dilanjutkan didepan sanggar pemujaan (sanggah kamulan), dipimpin oleh Pandita, Pinandita, atau Pinisepuh (Seseorang yang paling tua).
Sarana – sarana dalam Upacara Magedog – gendongan yaitu :
a.       Pamarisuda : Byakala dan prayascita
b.      Tataban: sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh
c.       Di depan sanggar pemujaan harus terdapat : benang hitam satu gulung yang kedua ujung dikaitkan pada dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken/tempat rempah – rempah
Prosesi Pelaksanaanya :
1.      Ibu yang mengandung tersebut dianjurkan terlebih dahulu melakukan prosesi penyiraman di parusida, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2.      Ibu yang mengandug menjinjingi tempat rempah – rempah, tangan kanan menjinjingi daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3.      Tangan kiri suami memegang benang, dan tangan kanannya memegang bambu runcing
4.      Lalu, suami mmenggeser benang hingga menusuk dan talas yang dijinjing istrinya sampai air dan ikannya tumpah/terjatuh, lalu memercikkan air suci ke sesajian yang telah di sediakan
5.      Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan bayi yang di dalam kndungan agar selamat sampai lahir lancar tanpa hambatan.
6.      Acara ditutup dengan pembacaan mantera – mantera yang dibacakan seperti di Bali yaitu Mantrapuja Nadisraddhadan untuk keselamatan sang ibu, pangkulatan dan terakhir natab[1]

2.      Upacara setelah Kelahiran
a.       Upacara Jatakarma
Terdapat pula upacara kelahiran yang dinamakan Upacara Jatakarma yang dilaksanakan pada sebelum tali pusar bayi terputus, dan apabila terlanjur lepas, harus dibuatkan suatu upacara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat – tempat suci dan bangunan – bangunan yang ada disekitarnya. Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur bahagianya atas kehadiran buah hati ke dunia, walaupun orangtua menyadari bahwa beban semakin bertambah. Waktu yang tepat dilaksanakannya upacara ini adalah pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah medapat perawatan pertama, adapun tempat prosesinya dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah, di pimpin oleh salah seorang keluarga tertua/yang dituakan.
Adapun sarana – sarana yang harus dipenuhi:
1)      Dapetan, yaitu terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan buah – buahan
2)      Canang sari/ canang gangten, sampiyan jaet dan penyeneng.
3)      Sebuah kendil atau sebuah kelapa yang airnya dibuang seta lengkap dengan tutupnya digunakan untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari).
Prosesi pelaksanaannya :
1)      Bayi yang baru ahir tersebut di upacarai dengan bahan – bahan yang sudah disiapkan : banten dapetan, canang sari, cenang genten, sampiyan dan penyeneng. Dengan tujuan agar roh/atma yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2)      Ari – ari dibersihkan, lalu dimasukkan kedalam kendil lalu ditutup. Jika menggunakan kelapa,terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, yang telah ditulisi aksara “Om kara (om)” pada kendil, dan jika pada kelapa ditulisi aksara “Ah Kara (ah)”
3)      Selanjutnya kendil/kelapa dibungkus dengan kain putih dan didalamnya diberi bunga.
4)      Lalu, kendil/kelapa yang befrisi ari-ari tadi ditanam di halaman rumah, di bagian pintu kanan untuk bayi laki – laki dan pintu kiri untuk yang perempuan bila dilihagt dari luar rumah.
b.      Upacara kambuhan 
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci. 
Adapun sarana untuk melaksanakan upacara kecil:
1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan dapetan.

Untuk upacara yang lebih besar
1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara, jejanganan, banten pacolongan untuk di dapur, di permandian dan di sanggah kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari. Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.[2]

c.       Upacara Tigang Sasih 
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur  tiga bulan, di India upacara ini disebut Niskarmana, yang berarti dalam bahasa inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
Prosesi pelaksanaannya :
1.      Dibuatkan bentuk segi empat yang didalamnya disebarkan beras oleh sang ibu. Lalu dibuatkan gambaran swastika. Dari tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur  tanah liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.
2.      Setelah itu, bayi dipakaikan pakaianyang layak serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga). Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik, lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa matahari dewa bulan dan dewa angkasa
3.      Lalu, Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar. Setelah upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya, serta diberikan hadiah-hadiah.
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
d.      Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara

Upacara ini dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.

Sarana – sarana yang harus dipenuhi :
Sarana Upakara kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.

Prosesi pelaksanaannya :      
1. Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Selanjutnya pemanjatan doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
5. Setelah itu bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

e.       Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Yang bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah, dan dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua


Sarana – sarana :
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara.
Upakara yang lebih besar: Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.

Prosesi pelaksanaannya :
1.      Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2.      Selanjutnya dilakukan pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3.      Setelah itu penghormatan terhadap leluhur.
4.      Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5.      Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.

MAKNA PERNIKAHAN DALAM AGAMA HINDU

Perkawinan hakekatnya adalah Upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa, kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979, pasal 1, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal karena Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai arti dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha. Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religious (sakral) dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.[3]
Waktu pelaksaannya adalah biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Yang dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.

Diantaranya syarat – syarat pernikahan adalah :

Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Faktor Batiniah,yaitu:
1.         Pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
2.         Mempelai harus agama yang sama
Faktor Lahiriah, yaitu:
1.         Faktor usia
2.         Bibit, bebet, bobot
3.         Tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain.[4]

Prosesi pelaksanaannya :
Berikut adalah cara yang dapat dilakukan dalam acara perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: Mempadik, Ngerorod, Nyentana, Melegandang.

* Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :

*Pedewasaan (mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau  seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).

* Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.

* Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.[5]

MAKNA KEMATIAN DAN UPACARA

Kematian adalah salah satu hal yang mutlak yang seseorang siapapun tidak akan bisa menghindarinya, didalam agama hindu terdapat ritual tersendiri ketika terjadi kematian seseorang, yaitu upacara Ngaben, yang sebenarnya identik dengan pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa melaksanakan upacara ini. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Tentunya, hal ini adalah sesuatu yang sangat bertolak belakang dari tujuan asli dan konsep dasar dari Upacara Ngaben. Justru di Bali dibedakan lagi menjadi dua bagian, yang mana terdapat uapacara ngaben yang tidak terlalu diwajibkan diadakan besar – besaran, yaitu : MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong  besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.

Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya :

a.       Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan  Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
-          Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan batinnya,  yang dapat ditempuh dengan berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
-          Penyelenggaraan upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
-          Membersihkan sawanya (mresihin)
-          Mendem atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
-          Ngaben/atiwa-tiwa
-          Mroras/ mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atmawedhana”. Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
b.      Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
c.       Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
d.      Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
e.       Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
f.       Asti wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.

Arti simbolik upakara[2]
1.      Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang berfungsi sebagaipembersihan.
2.      Sarana upakara
-          Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
-          Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
-          Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
-          Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
-          Bale pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
-          Tatukon pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
-          Ganjaran serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
-          Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
-          Karab sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
-          Angkep rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
-          Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
-          Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
-          Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk kedalam tanah.
-          Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
-          Tumpang salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
-          Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
-          Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
-          Sawa karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
-          Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
-          Adegan (pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
-          Angenan
Symbol jantung manusia
-          Sok bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
-          Lis pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada kaki sawa.
-          Kesi-kesi / jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
-          Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya atma
-          Tah mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
-          Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian atma
-          Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
-          Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara bebantenan
-          Kaki patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
-          Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
-          Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
-          Pemanjangan
-          Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
-          Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
-          Bale gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya

Upacara
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa wedhana.
Adapun tahap-tahapnya parteka :
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.

Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
a.       Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
b.      Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
c.       Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).

Ngaben sarat relevansinya masa kini

Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi umat hindu

Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).


Masa sekarang
Telah merasuknya  masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.

Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
1)      Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
2)      Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
3)      Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
4)      Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
5)      Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat hindu.[6]

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya: Paramita. 2002

Arthayasa, I Nyoman, Perkawinan Agama Hindu, Surabaya : Paramita. 1998

Kaler , I Gusti Ketut,  Ngaben.  Yayasan Dharma Naradha 1993

Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha, 1993.







[1] Drs. I Nyoman Singgin Wikarman “Ngaben” Paramita Surabaya 2002
[2] Ibid hal. 2
[3] I nyoman Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu (Surabaya:PARAMITA,1998), hal. 1-3
[4] Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu, h. 11-12
[5] Sudharta, Manusia hindu, h. 73
[6] I Gusti Ketut Kaler “ Ngaben” Yayasan Dharma Naradha 1993

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Maaciww!! Udah mampir di Blog ane, Semoga Bermanfaat, janan lupa likenya ya :)