MAKNA
KELAHIRAN DALAM AGAMA HINDU
Kelahiran
merupakan anugrah terbesar yang diberikan Sang Hyang Widhi, sejak dalam
kandungan sebelum kelahiran dalam ajaran Hindu, manusia telah dipersiapkan dan
dibentuk melalui adanya ritual – ritual dengan tujuan agar sang anak yang dalam
kandungannya lahir dan besar sesuai harapan. Dalam Agama Hindu terdapat Upacara
Manusa Yadyna, yakni upacara persembahan suci yang dilaksnakannya dengan tulus,
yang mana terdapat nilai – nilai positif, yakni dalam rangka memelihara dan
mendidik secara spiritual hindu terhadap si calon anak semenjak terwujudnya
jasmani dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Dalam
ajaran Hindu terdapat empat tingkatan dalam menjalani hidup ini, yakni bagian
dari Catur Purusa Arta, yaitu: Brahmacari, grehasta,
wanaprasta, dan bhiksuka. Upacaranya sendiri terbagi
menjadi beberapa macam, diantaranya :
1. Magedog – gendongan
Upacara
ini dilaksanakan setelah janin berusia dibawah lima bulan, yang dilaksanakan
dalam rangka untuk membersihkan dan memohon keselamatan si cabang bayi, dengan
harapan agar kelak nanti menjadi orang yang berguna. Waktu melaksanakannya pada
saat kandungan berusia 210 hari (tidak harus persis), untuk tempat
pelaksanaannya dilaksanakan di dalam rumah, halaman rumah, pekarangan rumah,
ditempat pemandian darurat serta dilanjutkan didepan sanggar pemujaan (sanggah
kamulan), dipimpin oleh Pandita, Pinandita, atau Pinisepuh (Seseorang yang
paling tua).
Sarana
– sarana dalam Upacara Magedog – gendongan yaitu :
a. Pamarisuda : Byakala dan prayascita
b. Tataban: sesayut, pengambean, peras
penyeneng dan sesayut pamahayu tuwuh
c. Di depan sanggar pemujaan harus terdapat
: benang hitam satu gulung yang kedua ujung dikaitkan pada dahan dadap, bambu
daun talas dan ikan air tawar, ceraken/tempat rempah – rempah
Prosesi
Pelaksanaanya :
1. Ibu yang mengandung tersebut dianjurkan
terlebih dahulu melakukan prosesi penyiraman di parusida, dilanjutkan dengan
mabyakala dan prayascita.
2. Ibu yang mengandug menjinjingi tempat
rempah – rempah, tangan kanan menjinjingi daun talas berisi air dan ikan yang
masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, dan
tangan kanannya memegang bambu runcing
4. Lalu, suami mmenggeser benang hingga
menusuk dan talas yang dijinjing istrinya sampai air dan ikannya
tumpah/terjatuh, lalu memercikkan air suci ke sesajian yang telah di sediakan
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan
memohon keselamatan bayi yang di dalam kndungan agar selamat sampai lahir
lancar tanpa hambatan.
6. Acara ditutup dengan pembacaan mantera –
mantera yang dibacakan seperti di Bali yaitu Mantrapuja Nadisraddhadan untuk
keselamatan sang ibu, pangkulatan dan terakhir natab[1]
2. Upacara setelah Kelahiran
a. Upacara Jatakarma
Terdapat pula upacara kelahiran yang dinamakan
Upacara Jatakarma yang dilaksanakan pada sebelum tali pusar bayi terputus, dan
apabila terlanjur lepas, harus dibuatkan suatu upacara yang bertujuan untuk
membersihkan secara spiritual tempat – tempat suci dan bangunan – bangunan yang
ada disekitarnya. Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur bahagianya
atas kehadiran buah hati ke dunia, walaupun orangtua menyadari bahwa beban
semakin bertambah. Waktu yang tepat dilaksanakannya upacara ini adalah pada
waktu bayi baru dilahirkan dan telah medapat perawatan pertama, adapun tempat
prosesinya dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah, di pimpin oleh salah
seorang keluarga tertua/yang dituakan.
Adapun
sarana – sarana yang harus dipenuhi:
1) Dapetan, yaitu terdiri dari nasi
berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan buah – buahan
2) Canang sari/ canang gangten, sampiyan
jaet dan penyeneng.
3) Sebuah kendil atau sebuah kelapa yang
airnya dibuang seta lengkap dengan tutupnya digunakan untuk menanam ari-ari
(mendem ari-ari).
Prosesi
pelaksanaannya :
1) Bayi yang baru ahir tersebut di upacarai
dengan bahan – bahan yang sudah disiapkan : banten dapetan, canang sari, cenang
genten, sampiyan dan penyeneng. Dengan tujuan agar roh/atma yang menjelma pada
si bayi mendapatkan keselamatan.
2) Ari – ari dibersihkan, lalu dimasukkan
kedalam kendil lalu ditutup. Jika menggunakan kelapa,terlebih dahulu dibelah
menjadi dua bagian, yang telah ditulisi aksara “Om kara (om)” pada kendil, dan
jika pada kelapa ditulisi aksara “Ah Kara (ah)”
3) Selanjutnya kendil/kelapa dibungkus
dengan kain putih dan didalamnya diberi bunga.
4) Lalu, kendil/kelapa yang befrisi ari-ari
tadi ditanam di halaman rumah, di bagian pintu kanan untuk bayi laki – laki dan
pintu kiri untuk yang perempuan bila dilihagt dari luar rumah.
b. Upacara kambuhan
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua
dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi
beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu
dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci.
Adapun sarana untuk melaksanakan
upacara kecil:
1. Upakara untuk ibu : Byakala,
prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten
pasuwungan, banten kumara dan dapetan.
Untuk upacara yang lebih besar
1. Upakara untuk ibu : Byakala,
prayascita, tirtha panglukatan dan pabersihan.
2.
Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara, jejanganan, banten
pacolongan untuk di dapur, di permandian dan di sanggah kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan
dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari. Tempat Keseluruhan rangkaian
upacara kambuhan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah, di dapur, di halaman
rumah dan di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh
seorang pinandita atau pandita.[2]
c. Upacara Tigang Sasih
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur tiga
bulan, di India upacara ini disebut Niskarmana, yang berarti dalam bahasa
inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di
Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini
terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
Prosesi pelaksanaannya :
1. Dibuatkan bentuk segi empat yang didalamnya
disebarkan beras oleh sang ibu. Lalu dibuatkan gambaran swastika. Dari
tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari
beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur tanah liat,lalu
sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.
2. Setelah itu, bayi dipakaikan pakaianyang layak
serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).
Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian
musik, lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan
disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa matahari dewa
bulan dan dewa angkasa
3. Lalu, Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya
mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar. Setelah upacara ini berakhir,sang
bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya, serta
diberikan hadiah-hadiah.
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah
tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan
umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan
sekali seumur hidup.
d. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana
Samskara
Upacara ini dilakukan pada saat
bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon. Bila keadaan
tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin
upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil
untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan
upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan
di lingkungan rumah. Dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Sarana – sarana yang harus
dipenuhi :
Sarana Upakara kecil: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten
kumara dan tataban.
Sarana
Upakara besar: panglepasan, penyambutan,
jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten
turun tanah.
Prosesi pelaksanaannya :
1. Pandita / Pinandita memohon
tirtha panglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan
pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai
perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda
tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4.
Selanjutnya pemanjatan doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh
ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
5.
Setelah itu bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab
jejanganan.
6.
Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
e. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara ini dilakukan setelah
bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Yang bertujuan untuk menebus
kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam
kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Dilaksanakan pada
saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang
sama seperti saat lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama).
Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang
tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara
ini dilaksanakan di rumah, dan dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh
keluarga tertua
Sarana – sarana :
Upakara
kecil: Prayascita, parurubayan,
jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen
turun tanah dan sajen kumara.
Upakara
yang lebih besar: Prayascita, parurubayan,
jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen
turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.
Prosesi pelaksanaannya :
1. Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara
melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan
segala manifestasinya.
2. Selanjutnya dilakukan pemujaan terhadap Siwa
Raditya (Suryastawa).
3. Setelah itu penghormatan terhadap leluhur.
4. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut).
Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.
MAKNA PERNIKAHAN DALAM AGAMA
HINDU
Perkawinan
hakekatnya adalah Upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada
masyarakat bahwa, kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai
suami-istri. Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979,
pasal 1, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal karena
Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan
atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai arti dan kedudukan yang khusus di dalam
kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha. Di dalam kitab Manava Dharmasastra
bahwa pernikahan itu bersifat religious (sakral) dan wajib hukumnya,ini
dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa
leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.[3]
Waktu
pelaksaannya adalah biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau
wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Yang dipimpin
oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Diantaranya
syarat – syarat pernikahan adalah :
Syarat
perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Faktor
Batiniah,yaitu:
1. Pernikahan yang berdasarkan cinta sama
cinta
2. Mempelai harus agama yang sama
Faktor
Lahiriah, yaitu:
1. Faktor usia
2. Bibit, bebet, bobot
3. Tidak terikat oleh suatu perkawinan
dengan pihak lain.[4]
Prosesi
pelaksanaannya :
Berikut
adalah cara yang dapat dilakukan dalam acara perkawinan yang merupakan bentuk
pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra,
diantaranya: Mempadik, Ngerorod, Nyentana, Melegandang.
*
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling
terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki
(purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan
persetujua dari kedua pihak.
mempelai
memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
*Pedewasaan
(mencari hari baik)
dari
pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon
kehadapan sulinggih atau seorang yang
sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
*
Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat
penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti
oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan
adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin
wanita serta calon pengantinnya.
* Ngetok
lawang
Sebelum
pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa
pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.[5]
MAKNA
KEMATIAN DAN UPACARA
Kematian
adalah salah satu hal yang mutlak yang seseorang siapapun tidak akan bisa
menghindarinya, didalam agama hindu terdapat ritual tersendiri ketika terjadi
kematian seseorang, yaitu upacara Ngaben, yang sebenarnya identik dengan
pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa melaksanakan upacara ini.
Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari
kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Tentunya, hal ini adalah sesuatu yang
sangat bertolak belakang dari tujuan asli dan konsep dasar dari Upacara Ngaben.
Justru di Bali dibedakan lagi menjadi dua bagian, yang mana terdapat uapacara
ngaben yang tidak terlalu diwajibkan diadakan besar – besaran, yaitu :
MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben
yang tergolong besar seperti Sawa
Prateka dan Sawa Wedhana.
Ada
beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya :
a. Pitra Yadnya
Sebagaimana
telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan
Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben
yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra
Yadnya wajib hukumnya
Berkorban
pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus
keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
- Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa
memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan
batinnya, yang dapat ditempuh dengan
berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu
memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
- Penyelenggaraan upacara setelah
kematian
Penyelengaraan
upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada
asalnya seperti halnya ;
- Membersihkan sawanya (mresihin)
- Mendem atau ngurug semetara karena
suatu hal belum bias diaben
- Ngaben/atiwa-tiwa
- Mroras/ mamakur
Upacara-upacara
tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang
pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atmawedhana”.
Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa
tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong
Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan
atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam
bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan
dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses
kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam
dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan
dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
b. Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben
yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
c. Swasta
Swasta artinya lenyap atau
hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
d. Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru
meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
e. Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk
sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
f. Asti wedhana
Upacara
bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
Arti
simbolik upakara[2]
1. Sarana + bebantenan
Dalam
upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak
begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang
berfungsi sebagaipembersihan.
2. Sarana upakara
- Awak-awakan
Pengganti
badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
- Tirtha
Tirtha
pembersihan
“tirtha
yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan
dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan
sawa
Tirtha
panglukatan
“ dibuat
juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan
mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha
pamanah
“Dibuat
oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha
pangentas”.
“Merupakan
unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang
dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
- Papaga
Bale
dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas,
selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan
pelinggihan pitra ketika disamskara.
- Jempana
Bentuknya
seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta
sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung
kelaut atau sungai.
- Bale pangastryan
Bale yang
dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat
upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
- Tatukon pengiriman
Merupakan
kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan
bagian-bagian badan manusia.
- Ganjaran serta penyertanya
Kulambi
pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar
sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak
mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang
kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi
ganjaran dan pengikutnya.
- Kajang
Kain
putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai
dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang
berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
- Karab sinom
Kerudung
bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
- Angkep rai
Kain
putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
- Pagulungan
Dibuat
dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung
Kapala (aksara kulit manusia)
- Lante
Dibuat
dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung
(perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
- Selepa
Jenis
peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya
dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk
kedalam tanah.
- Bandusa
Peti mati
tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan
eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain.
Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
- Tumpang salu
Tempat
dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau
kunapa bhinesaka oleh pendeta.
- Tatindih
Kain
sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
- Wukur
Terbuat dari
lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi
sebagai tempat tidurnya roh.
- Sawa karsian
Bagi sawa
yang telah dipendhem
- Pangrekan
Kumpulan
kwangen sebagai symbol padma
- Adegan (pisang jati)
Perwujudan
dari orang matai
- Angenan
Symbol
jantung manusia
- Sok bekal
Bekal
bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
- Lis pering
Sepasang
ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada
kaki sawa.
- Kesi-kesi / jemek
Symbol
dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi,
mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan
dan tiga sampir.
- Iber-iber
Berupa
ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya
atma
- Tah mabakang-bakang
Sabit
yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
- Gender
Gamelan
yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian
atma
- Penuntun
Terdiri
dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
- Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis
sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara
bebantenan
- Kaki patuk dan dadong sempret
Deling
atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
- Tragtag
Wadah
semacam tangga untuk menaikkan sawa
- Ubes-ubes
Papecut
yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
- Pemanjangan
- Sekarura
Bunga
kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
- Cegceg
Beberapa
butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi
sebagai oleh-oleh atma.
- Bale gumi
Tempat
sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya
Upacara
Prosesi
tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa
wedhana.
Adapun
tahap-tahapnya parteka :
Pabersihan
dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi,
samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya,
memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra
puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau
narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.
Dewasa
ngaben
Pada
hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya
pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul
diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam
upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan
yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
a. Angutarayana
Matahari bergerak dari
tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa,
dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya
karena terbukanya pintu alam visnu
b. Indrayana
Saat matahari berada di
tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih kapat
(terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari
dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
c. Daksiyana
Saat-saat
matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk
melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam
dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).
Ngaben
sarat relevansinya masa kini
Ngaben
yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan
upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk
mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk
tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan
upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan
bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu
factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang
pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi
umat hindu
Masa lalu
Sebelum
masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris
mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah
rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi
identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang
sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel,
keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif
tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga
adat).
Masa
sekarang
Telah
merasuknya masa transisi pada
industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara
sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai,
namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin
meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa
datang
Masa era
industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan
dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat
tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai
dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Landasan
filosofis
Telah
banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya
adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
1) Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula
terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua
yang tercipta.
2) Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada
masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman.
maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
3) Karma
Manusia hidup tidak lepas dari
kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang
pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala
baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula.
Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
4) Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang
atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara
ketika kembali pada asalnya.
5) Moksa
Kebahagiaan
abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat
hindu.[6]
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya: Paramita. 2002
Arthayasa,
I Nyoman, Perkawinan Agama Hindu, Surabaya : Paramita. 1998
Kaler , I
Gusti Ketut, Ngaben. Yayasan Dharma Naradha 1993
Sudharta,
Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha, 1993.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Maaciww!! Udah mampir di Blog ane, Semoga Bermanfaat, janan lupa likenya ya :)